Sebenarnya
apa sih tujuan anak bersekolah? Tidak lain tidak bukan
pastinya untuk mendapatkan ilmu agar menjadi lebih pintar, kan? Lalu
dengan tujuan yang baik serta usaha keras untuk mendapatkan ilmu tersebut,
mengapa masih banyak siswa yang gagal?
Gagal yang dimaksud di sini bukan
dilihat dari hasil raport rata-rata bawah, ya, namun hal yang lebih penting
esensi daripada sekedar nilai, yaitu gagal dalam mengembangkan kemampuan
belajar, memahami serta kemampuan menciptakan yang sebenarnya sudah mereka bawa sejak
lahir.
Foto: Pixabay.com
Mencari tahu bagaimana ini terjadi, seorang kritikus pendidikan
terkemuka dari USA yang bernama John Holt membuat sebuah penelitian dan
menuliskan hasilnya dalam bukunya yang berjudul 'Mengapa Siswa
Gagal.'
John Holt mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada
seorangpun dilahirkan dalam keadaan bodoh (yang dimaksud disini tentunya bayi yang dilahirkan sehat jasmani dan rohani). Beliau mengatakan bahwa faktor intern siswa terkait dengan gaya hidup mereka serta pengaruh pendidik
berperan besar menjadikan siswa pintar atau bodoh.
Pengaruh Gaya Hidup yang Menjadikan Pintar dan Bodoh
Gaya hidup yang dikatakan berpengaruh menjadikan anak bodoh atau pintar, sejatinya didasarkan bukan pada seberapa besar pengetahuan yang dia punya, melainkan pada sebuah sikap. Sikap saat seseorang berada pada situasi sulit yang dia tidak tahu harus melakukan apa. Cara berperilaku dalam berbagai situasi. Terutama pada situasi yang baru, asing dan membingungkan.
Perbedaan Gaya Hidup Manusia Berintelegensi
(cerdas) dan Nirintelegensi (bodoh)
Bagaimana sikap atau gaya hidup manusia cerdas dan belum cerdas? Ternyata hal ini bisa dilihat dari berbagai sikap saat menghadapi situasi baru, saat menemukan kegagalan dan hal yang lain akan ditemuinya. Berikut ulasan yang bisa dijadikan patokan ya, Guys!
Perilaku Saat Menghadapi Persoalan atau Situasi Baru
Orang cerdas baik muda atau tua ketika
menghadapi suatu persoalan atau situasi baru akan membuka diri terhadap situasi
tersebut. Dia mencoba memahami sesuai pikirannya dan mempersepsikan segala
sesuatu menurut kesanggupannya. Alih-alih memikirkan dirinya sendiri atau apa
yang mungkin akan terjadi pada dirinya, dia bergumul dengan persoalan dan
situasi baru itu dengan berani, imajinatif, pandai, percaya diri, atau paling
tidak penuh pengharapan.
Hal ini sangat berbeda dengan non
intelegensi. Nir Intelegensi (non intelegensi) merupakan cara
berperilaku yang lahir dari serangkaian sikap yang benar-benar
berbeda. Anak yang cerdas selalu ingin tahu tentang hidup dan realitas, sigap untuk
berhubungan dengannya, merengkuhnya serta menyatukan diri dengannya. Tidak ada
tembok pemisah atau rintangan antara dia dan kehidupan.
Anak yang bodoh sangat kurang ingin tahu,
jauh kurang tertarik dengan apa yang terjadi dan nyata, lebih senang hidup
dengan angan-angan. Anak yang cerdas senang melakukan percobaan, mencoba
hal-hal baru. Anak cerdas hidup sesuai rumus bahwa ada lebih dari satu cara dalam mengalahkan kesulitan. Anak yang bodoh biasanya takut mencoba cara
apapun, bahkan dibutuhkan usaha keras untuk meyakinkan agar dia mau mencoba bahkan
sekali saja. Bila percobaan yang dia lakukan itu gagal, dia selesai.
Kesabaran Saat Menemukan Kegagalan
Anak yang cerdas biasanya sabar, sanggup
bertoleransi terhadap ketidakpastian serta kegagalan, dan akan terus mencoba
sampai menemukan jawabannya. Ketika menemukan kegagalan, mungkin saja itu
akan mengganggunya tetapi dia bisa bersabar. Namun tidak dengan anak bodoh,
setiap kali pertanyaan yang tak terjawab bukan merupakan tantangan atau
kesempatan, melainkan suatu ancaman. Artinya, jika dia tidak segera menemukan
jawaban maka dia ingin jawaban diberikan dengan segera.
Merasa Dirinya Banyak Tidak Tahu
Anak yang cerdas bersedia terus maju
karena merasa dasar pengetahuan yang mereka punya tidak sempurna. Mereka
bersedia bersusah payah untuk mendapatkan petunjuk apa yang dia tidak tahu.
Sebagai contoh, anak-anak cerdas akan selalu membaca buku yang belum dipahami
dengan harapan agar setelah beberapa waktu ia menjadi paham sehingga dia tahu
pentingnya membaca.
Anak cerdas merasa bahwa alam raya secara
keseluruhannya dapat dipersepsi, rasional, dan merupakan tempat yang nyaman.
Sementara anak-anak bodoh akan merasa bahwa alam raya ini tidak dapat
diprediksi serta berbahaya. Dia merasa bahwa dia tidak pernah dapat
memperkirakan apa yang mungkin terjadi, terlebih lagi dalam situasi baru.
Dari banyak uraian diatas, jadi apa yang
bisa ditangkap?
Hal pertama adalah bahwa tidak ada seorang yang dilahirkan dalam
keadaan bodoh. Analoginya seperti ini, dalam proses
pembelajaran seorang bayi sampai masa kanak-kanak, gerak-geriknya
memperlihatkan gaya hidup, hasrat penuh serta kemampuan belajar yang bisa kita
sebut jenius.
Perhatikan perkembangan bayi manusia mulai dari mendengar, belajar, mengamati,
berjalan, berlari, menirukan, berbicara sampai pada kemampuan yang
lainnya, mengalami perkembangan yang pesat tentang dunia ini hanya
dalam tiga tahun saja, betul, kan?
Dan amazingnya kalau kita cari tahu lebih dalam lagi,
ternyata hampir tidak ada satupun dari seribu atau sepuluh ribu orang di dunia
ini yang sanggup belajar pesat selama tiga tahun dalam hidupnya seperti
layaknya bayi. Wow Masya Allah ya.
So, bercermin pada tingkat intelegensi seorang bayi, seseorang dikatakan
pintar atau tidak, bukan berfokus pada seberapa besar pengetahuan dalam cara
bertindak melainkan cara berperilaku saat dalam situasi yang blurr,
saat berada dalam situasi tidak tahu apa yang dilakukan. Intelegensi yang
dimaksud adalah suatu gaya hidup, cara berperilaku dalam berbagai situasi,
terutama situasi yang baru,asing dan membingungkan.
Dari penjelasan di atas juga tersurat bahwa sebenarnya intelegensi
bisa anak raih jika mereka menerapkan gaya hidup orang cerdas. Namun
sayangnya terkadang tidak kita sadari banyak kreativitas dan
intelektual anak-anak hilang karena beberapa kesalahan orangtua dan guru.
Faktor intern dan extern dari lingkungan sekitarnya begitu berdampak dalam
kecerdasan anak.
Dan bagaimana dengan penulis sendiri?
Hihihi...bagi saya sendiri, saya merasa bertambahnya umur jadi kurang cerdas. Kalau dipikir-pikir mungkin itu karena faktor umur dan salah satunya juga karena gaya hidup non intelegensi yang saya
terapkan. Jadi malas, masa bodoh, tidak sabaran, maunya selalu di comfort zone apa saja gampang didapat tanpa banyak usaha. Padahal semua itu buat pengaruh nggak baik ke depannya, ya. but well..setelah tahu sadar akan kelemahan diri dan mau merubah gaya hidup jadi cerdas
sekarang tampaknya tidak terlambat, bukan? Hehehe...